BEASISWA
“Jadi, kau akan berhenti di sini?!”
Aku tersentak mendengar teriakan Uli,
padahal jarak aku dan Uli tak jauh, ini kebiasaan Uli jika sedang marah. Aku
lempar sembarang buku motivasi yang tengah ku baca
demi mendengar teriakan Uli selanjutnya.
“Ara, mana mungkin kau menyerah begitu
saja! Aku tak percaya dengan lelucon ini! Mana Ara
yang dulu? Yang selalu bersemangat!”
”Sudah mati Ul, inilah aku yang sebenarnya,
tak punya harapan sepotong pun!” jawabku sekenarnya tanpa memperhatikan wajah
Uli yang memerah.
“Ara, ini kesempatan emas. Tak maukah kau
mencoba? Mungkin kali ini kau akan berhasil. Apa salahnya mencoba?”
“Sudahlah Ul, lebih baik kau belajar. Dua
hari lagi kau ikut SNMPTN, tak perlu kau risaukan aku.” Kali ini aku telah
beranjak keluar dari kamar Uli.
Brak!!
Tak sempat Uli menyelesaikan kata-katanya
aku telah membanting pintu kamarnya.
***
Burung-burung berlarian mematuki sisa padi
di pesawahan. Rupanya petani telah selesai memanen padi yang empat bulan lalu
mereka tanam. Aku melihat kebahagiaan menari-nari di wajah mereka. Kali ini
panen raya. Pantaslah petani merayakan dengan bersenandung riang.
Ani
ani
Ani
ani ani
Potong
padi
Poton
potong padi
Mari
ke sawah untuk memotong padi
Aku masih duduk di batu besar pinggir
sungai dekat pesawahan, menyaksikan euforia
kegembiraan petani. Ku edarkan pandangan, sejauh mata memandang hanya areal
pesawahan yang tak ditumbuhi padi, tanahnya keras merekah terpanggang sinar
matahari. Seminggu terakhir merupakan masa-masa panen, kali ini panen padi
melimpah ruah. Bahagianya petani-petani itu, tak seperti aku yang hanya
mengamati mereka dari kejauhan, mengamati mereka yang tengah menjemur padi
dengan bersenandung riang, sementara hatiku bersenandung menyanyikan lagu
perih. Terngiang–ngiang perdebatanku dengan Uli dua hari lalu, yang terus
mengusik pikiranku.
“Ara, kali ini benar-benar beasiswa penuh
dari sebuah perusahaan prestisius di negeri ini.
Aku yakin kau pasti dapat beasiswa ini! Percayalah pada ku.”
“Ah Uli, kau terlalu baik pada ku, andai
saja kau tahu hati ku yang terluka. Ah, kau memang selalu baik pada ku.” Batin ku.
Hati ku terluka? Ya, sangat terluka. Ini
terjadi seminggu lalu. Setelah pengumuman. Setelah perguruan-perguruan tinggi
itu. Setelah semua terjadi, setelah harapan ku terkubur sangat dalam. Saking
dalamnya hingga terkubur di lapisan tanah terdalam, kemudian menuju batolit yang luar biasa panas dan meleleh melewati diaterma, bercampur air saat menuruni
lubang kawah, mangalir menuruni lembah, melewati perjalanan yang terlampau
panjang untuk menemukan hilir yang menenangkan. Tapi sayang perjalanan yang ia
lalui tak selalu manis.
“Ah, sepedih itukah hati ku?”
Jawabnya lebih! Lebih pedih! Kau akan
merasakan saat kau berada diambang keputusasaan.
***
24 Mei
Tiga minggu lalu aku mendaftar program
beasiswa yang dicanangkan pemerintah. Tak tanggung-tanggung, lima Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) yang aku daftar, demi kuliah gratis. Kukirimkan fotokopi
nilai raport, ijazah, dan masih banyak lagi. Aku terus berharap agar bisa
diterima, karena nilai raport dan UN-ku telah memenuhi syarat, apalagi telah
aku ikut sertakan rekening listrik yang tagihannya hanya mencapai Rp. 11.500,-.
Semua itu telah aku kirim ke lima PTN.
Tabungan ku habis untuk biaya pendaftaran, dan aku berharap ada satu PTN yang
menerima ku. Hingga kenyataan pahit itu datang menghampiri.
Lima menit sudah aku berada di bilik warnet
dekat sekolah ku. Aku buka satu persatu website
PTN yang aku daftar tiga minggu lalu. Dengan harapan ada nama ku di sana.
Jantung ku berdebar hebat, keringat dingin pun meluap. Kucoba raba dada ku,
memastikan jantung ku masih barada di tempatnya.
PTN pertama,
“Hasil seleksi beasiswa bla. . . bla. . .
bla. . .”
Tak sabar aku ingin segera mengetahui hasil
pengumuman. Segera aku ‘klik’ daftar calon mahasiswa penerima beasiswa. Loading. 1 menit. 2 menit. Jantung ku
berdegup kencang. Ku pejamkan mata sekejap sambil berucap: “Bismillahirrahmanirrahim”
Ku eja satu persatu nama-nama yang
tercantum di layar komputer merk LG itu.
Hingga nama terakhir tak ku jumpai nama ku. Sekali lagi aku baca runtut dari
atas.
“Mungkin tadi aku tergesa-gesa hingga terlewat” gumam ku.
Dan ternyata memang tak ada nama ku. Baru
satu website dari lima website PTN yang aku buka, dan itu
berarti masih ada empat PTN lagi.
PTN ke dua,
Dengan lincah jari-jemari ku menari di atas
tombol keyboard menuliskan sebuah nama universitas. Sektika muncul pengumuman
seperti yang terjadi pada website PTN
pertama. Tangan kananku memainkan mouse, mengarahkan
anak panah pada daftar penerima beasiswa, seperti yang aku lakukan lima menit
lalu. Mataku tak berkedip demi sebuah harapan, nama ku ikut bergabung dengan
nama-nama penerima beasiswa. Tapi sayang, nama ku tetap tidak terdaftar, membuat
nyali ku smakin menciut.
Aku mulai membuka website PTN ke tiga, ke empat dan yang terakhir. Hasilnya NIHIL!
tak ada nama ku disana, tak ada satu pun PTN yang menerima ku.
Tubuhku lemas. Kepala terkulai,
tertunduk. Tak terasa bulir air mengalir dari sudut mata, menangis, tanpa
suara. Hati ku? Sungguh hancur berkeping-keping bak di pukul palu godam.
1 menit, 2 menit, 15 menit, 1 jam berlalu.
Layar komputer masih menyala, tak peduli dengan aku yang terluka.
Yang sempat terpikir dibenak ku, “Bukankah
beasiswa ini untuk siswa kurang mampu? Tapi, kenapa Indri, teman satu sekolah ku
yang berasal dari keluarga berkecukupan dapat beasiswa ini? Sedangkan aku? Aku
ingin berontak dari kenyataan pahit ini. Tapi apa yang dapat ku lakukan?”
Perlahan aku angkat kepala, ku hapus air
mata dengan ujung jilbab putihku. Tanpa menutup program aku matikan komputer di
depanku. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu keluar, hingga
teriakan seseorang menghentikan langkahku.
“Siapa itu? Malaikat kah?”
Seseorang menyentuh bahu ku, yang lebih
mengagetkan ternyata dia bukan malaikat.
“Mau kemana mbak? Bayar dulu, baru boleh
pergi?!” seru orang itu di belakangku.
“I. . . iya” jawabku tergugu.
Demi melihat muka sembabku, perempuan muda
itu bertanya padaku,
“Eh, mbak ndak papa?”
“Lima ribu, mbak bener ndak papa?”
“E, enggak mbak, ini” jawabku seloroh
sambil memberikan satu lembar uang lima ribu.
Aku berlari menuju halte dengan hati yang
masih hancur. Tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitar. Mataku menatap
lurus ke depan dengan tatapan kosong. Sebuah bus langgananku berhenti di depan
halte. Tanpa ba bi bu, aku naiki bus itu. Sempat kulirik kernet bus yang
menatapku, heran. Bus ini syarat penumpang.
“Huh. . .“ desahku.
Sepanjang perjalanan aku hanya dapat berdiri
melamun, menatap apapun yang dilewati bus, menatap hampa semua yang telah kulalui
tiga tahun terakhir.
“Perjalanan yang tak singkat” batinku.
Memang tak singkat, aku sekolah jauh-jauh,
di sebuah SMA terbaik di kotaku. 35 km pulang-pergi. Hanya untuk mengejar
impianku. Mimpi yang telah kurajut, namun hari ini, semua telah berakhir.
Bus terus melaju, meninggalkan debu, dengan mesin yang terus meraung
dan mengalun merdu sebuah lagu dari setiap speaker
yang terpasang dibawah atap bus.
Semua
yang telah berakhir
Antara
diriku dan dirimu. . .
***
Perlahan kuturunkan kakiku demi menyentuh
air sungai yang jernih, berharap airnya dapat mendinginkan otakku. Matahari
mengeluarkan teriknya, menjalar ke semua penjuru membuat otakku semakin
mendidih saja. Dan air sungai itu, ah, seperti telah bersekongkol dengan
matahari. Airnya hangat bahkan sedikit panas, agaknya semua telah bersekongkol
untuk menyerap panas matahari.
Hatiku pun demikan, bahkan lebih panas dari
matahari. Panasnya mengalir dipembuluh darah, mengantarnya ke seluruh tubuh.
“Apa yang harus kulakukan ke depan? Apakah
seperti orang tua dan kakakku? Seperti kebanyakan penduduk desaku? Buruh?
Menjadi buruh pada Tuan tanah?” aku pun tak sanggup menjawab pertanyaan ini.
Sungguh aku rasa penulis-penulis itu
membohongiku. Mereka mungkin bersekongkol, berdusta, tentang mimpi, harapan,
dan cita-cita. Atau sebaliknya? Aku yang berdusta? Aku yang mendustai diriku?
Sungguh aku tak mengerti. Mungkin aku terlalu tinggi menggantung mimpi, terlalu
besar berharap? Harus aku sadari, aku hanya anak seorang buruh petani miskin,
tak seharusnya aku bermimpi terlalu tinggi.Aku masih duduk di batu besar
pinggir sungai, saat sebuah suara yang amat ku kenal menghampiri.
“Ara! Cepat pulag! Ada seseorang yang ingin berjumpa denganmu!”
teriak seseorang, berlari menghampiriku.
“Uli, bukankah seharusnya kau ikut tes
SNMPTN hari ini?”
“Ah, nanti aku jelaskan. Sekarang ayo cepat
pulang!”
“Untuk apa?”
“Ugh, ada seseorang yang akan membuat mimpi kita menjadi kenyataan!
Ah! Bukan mimpiku. Tapi mimpimu! Ayo cepat!”
Sebenarnya aku sangat bingung dengan kata-kata Uli.
“Mimpiku?”
Sudahlah, toh aku telah berjalan mengikuti Uli. Sepanjang perjalanan
aku bertanya pada Uli tentang siapa orang itu, tapi Uli hanya menjawab dengan
senyuman.
“Senyum yang aneh” gumamku.
Didepan gubug kecilku terparkir sebuah mobil, entah apa merknya.
Badan mobil itu dipenuhi pemandangan gunung, pohon tembakau dan satu bungkus
rokok besar.
“Apa arti semua ini?” batinku bercicit.
“Ara, ayo masuk!” teriak Uli.
“Assalamu’alaikum-” sapaku pada dua orang lelaki
yang ada didalam rumah.
Bukan! Bukan dua orang, tapi tiga orang.
Yang dua aku tidak mengenalinya, dan yang satu tentu saja aku kenal, dia
kakakku.
Aku amati dua orang yang tak kukenali sambil duduk di kursi reyot
yang akan berdecit saat diduduki. Dua lelaki ini berwajah ramah, mereka memakai
kemeja putih, dasi hitam, celana panjang berwarna hitam, dan bersepatu.
Semuanya serba licin, mulai dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Lelaki yang
satu aku taksir umurnya 40an, rambutnya sedikit beruban, sedangkan lelaki yang
satunya lagi mungkin 20 tahunan. Masih muda, tampan dan terlihat ramah.
Sebuah tangan bergerak-gerak di depan mukaku.
“Kok melamun?” sapa kakakku, mengusir sepi
yang sedari tadi menggantung.
“Halah, liat cowok cakep aja, segitunya.” Ledek kakakku.
Aku menatap tajam kakakku. Demi mendengar ucappannya barusan, wajahku
bak kepiting rebus –merah- menahan malu.
“Ah ya, maaf? Ara, ini ada
Bapak Santosa dan Bapak Arifin dari sebuah perusahaan rokok terkenal yang pasti
kau sudah tahu dari mobil yang terparkir di depan. Beliau datang jauh-jauh
kemari untuk menemuimuimu.” Sabda kakakku.
Aku manggut-manggut hanya dapat ber, “O. .
.”
Dan kakakku kembali bersabda,
“Pak Santosa ini adik saya, Ara
Setyaningsih.”
Bapak-bapak ini mulai angkat bicara.
“Nak Ara, perkenalkan saya Bapak Santosa, dan ini bapak Arifin. Kami
dari bla bla bla”
Aku tak begitu memperhatikan penjelasan
Bapak Santosa tentang perusahaan, jabatan, entahlah. Aku tak berminat dengan
itu. Yang mendesak dipikiranku, untuk apa mereka datang kemari?
Pak Santosa kembali angkat bicara. Kali ini,
beliau memasang mimik muka serius,
memaksaku untuk mendengarnya.
“Nak Ara, tujuan terpenting kedatangan kami
adalah untuk menyampaikan ini”
Pak Santosa memberikan amplop besar yang sedari tadi di timang-timang
Pak arifin. Aku menerima amplop besar itu dengan bingung seraya memandang
kakakku –apa ini?- kakakku mengangkat
bahu –tidak tahu-
Pak Santosa menangkap kebingunganku, seraya
berkata,
“Bukalah nak Ara”
Tanpa disuruh dua kali aku buka amplop
besar itu. Mataku tak berkedip demi membaca huruf-huruf di kertas putih ini.
Sejenak sepi membungkus ruang sempit ukuran 2x4 meter, rumah orang tuaku.
“Perusahaan kami memberikan beasiswa kepada
saudari Ara, di sebuah perguruan tinggi ternama di negri ini. Semoga bermanfaat
bagi kita semua dan saudari Ara tentunya.” Seru seseorang yang sedari tadi
diam. Pak Arifin.
Kata-katanya barusan membuat mataku memerah. Bukan! Bukan karena
marah. Tapi lebih dari tangisan rasa syukur. Batinku terus berbisik:
“Terimakasih ya Robb. . . terima kasih. . . Engkau akhirnya menjawab
doaku, Engkau Maha Adil”
Uli, sahabat terbaikku, memeluk erat
tubuhku. Aku tahu dia berusaha diam sedari tadi. Aku pun tahu, ini semua
terjadi pasti karena “ulahnya”.
“Terima kasih Uli” bisikku serak.
Angin kemarau datang sangat halus, lembut
menerpa wajahku. Memainkan ujung kerudung hijauku yang telah usang warnanya.
Musim
kemarau baru dimulai. . .
Posting Komentar
Posting Komentar