Monolog Kehidupan
Oleh: Septi Ayu Azizah
Daun yang paling kokoh sekali pun akan tetap jatuh
tertiup angin, namun ia tidak akan pernah menyalahkan angin. Kalimat indah itu
terinspirasi dari novel “Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin” karya
Tere Liye-meskipun jujur saya belum pernah membaca novel tersebut. Kalimat itu
saya interpretasikan dengan diri saya, walau sejatinya kalimat itu ialah
kalimat pelipur bagi mereka yang kalah. Tapi tidak semua kalimat negatif
memiliki makna negatif bukan? Itulah bedanya saya dengan orang lain, saat orang
lain sibuk memotivasi diri dengan kalimat positif, kalimat negatif justeru
dapat lebih menanamkan pemahaman pada saya, meski untuk menyerapnya membutuhkan
proses yang tak cepat. Proses yang matang itu justeru akan melahirkan
pemahaman-pemahaman baru atas hidup yang dapat bertahan lama dan menguat bagai
akar yang kokoh.
Saya, Septi Ayu Azizah begitulah Orangtua saya menggelar
selamatan tujuh hari kelahiran saya,
terlahir dari rahim seorang Ibu yang perkasa. Berjuang melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan. Mendapat pendidikan pertama berupa kemandirian, rasa syukur, dan ikhlas. Meskipun, sejatinya saya masih tersuruk-suruk menggenggam tiga poin itu, namun dititik ini saya belum menyerah dan memang tak akan menyerah, hingga janji akan kehidupan yang lebih baik dapat saya jemput di ujung asa. Saya selalu yakin akan janji-janji Sang Pemilik Kehidupan “sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”
terlahir dari rahim seorang Ibu yang perkasa. Berjuang melawan keterbatasan walau sedikit kemungkinan. Mendapat pendidikan pertama berupa kemandirian, rasa syukur, dan ikhlas. Meskipun, sejatinya saya masih tersuruk-suruk menggenggam tiga poin itu, namun dititik ini saya belum menyerah dan memang tak akan menyerah, hingga janji akan kehidupan yang lebih baik dapat saya jemput di ujung asa. Saya selalu yakin akan janji-janji Sang Pemilik Kehidupan “sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”
Usai
berjuang merajut harapan, satu per satu mimpi pun dapat saya genggam. Mulai
dari bergabung bersama lembaga yang luar biasa-Beastudi Etos, hingga saya dapat
menjejakan kaki di Universitas Diponegoro. Selain menjadi seorang mahasiswi,
saya pun mengakrabkan diri dengan bergabung di UKM maupun EGM. Amanah saya
hingga hari ini ialah, Kepala Divisi Sastra KSSI,
KHARISMA, Rohis FIB. Koordinator Akhwat Al-Kahfi
(KHARISMA Angkatan 2013). Sedngkan amanah
di Etos, organisasi di luar kampus, dan EGM, Staff
Divisi Pendidikan SDP (Sekolah Desa Produktif) Etos Semarang. Kepala Departemen Kaderisasi FLP Rating
Tembalang, Sekretaris Departemen Kajian Strategis
(kastrat) KAMMI Komisariat FIB.
Seorang
Etoser selain dikenal sebagai organisatoris, juga dikenal akan
prestasi-prestasinya. Mungkin, sayalah Etoser yang tak memiliki prestasi
sebagaimana seorang Etoser. Tapi, bukankah prestasi itu bergantung dengan
persepsi? Bisa jadi saya akan bersorak menjadi seorang Etoser adalah sebuah
prestasi yang luar bisa. Berikut prestasi-prestasi yang saya peroleh saat kaki
ini menjejakan kampus-itu pun kalau dapat disebut prestasi. Peserta Terbaik Training Rohis 2 KHARISMA (Rohis FIB). Juara Umum
Jambore An-Nisa Insani UNDIP (Kelompok, An-Nisa FIB), Peserta Terbaik Jambore An-Nisa Insani UNDIP, Juara II Orasi Jambore An-Nisa Insani UNDIP.
Saya besar bersama mimpi. Mimpi yang paling
menjadikan saya terpesona ialah ketika saya dapat bermanfaat bagi oran lain. Saat
keberadaan saya menjadikan orang disekitar saya terinspirasi. Tak peduli bahwa
saya termasuk dalam kategori mereka yang terlambat. Bukankah tak ada kata
terlambat bagi mereka yang tak pernah menyerah?
Setiap orang punya jalan hidup yang berbeda. Ada yang
berjalan cepat untuk memperoleh sesuatu. Tapi ada pula yang berjalan lambat.
Lalu, mana yang lebih baik? Tak selamanya yang berjalan cepat lebih baik. Bisa
jadi yang berjalan lambat lebih baik. Sebab, mereka dapat menyaksikan dan
belajar dari orang-orang yang berjalan cepat. Hingga akhirnya memahami dan
mengerti dimana jalan terbaik menuju sukses.(Dream High).
Posting Komentar
Posting Komentar