Pesona Mimpi
Saya
bermimpi, berada pada puncak tertinggi dalam perjalanan hidup saya. Merangkai
keindahan dalam untaian kata. Memperjuangkan apa-apa yang patut saya dapatkan.
Menebar kebaikan, menyiram kedamaian, menghidupkan nadi kesetaraan dalam banyak
hal.
Saya
bermimpi, mendakai puncak tantangan. Melompati tiap petak kesukaran. Merambati
kemenangan. Memainkan melodi indah kehidupan. Dan bersiul mengejek kecongakan.
Saya
bermimpi, melukis kejayaan. Mewarnai kepedihan, mengolok-olok pesimistis.
Mengunci mati kalimat sarkatis,
menggantinya dengan ungkapan puitis. Menawarkan kesenangan. Mendelegasika
kesadaran, dan mendamba kesempurnaan.
Saya
bermimpi, menguatkan rantai kehidupan. Mengikat musibah dengan kesabaran.
Memukul mundur kebodohan. Menenggelamkan kepicikan.
Mengeposkan kedamaian. Menghadiahkan keramahan. Menggores kenangan. Melecut
keberanian hingga pada puncak tertinggi tantangan.
Semua
itu baru sekedar mimpi. Belum ada titik terang untuk mencapainya. Belum ada
kejelasan untuk mencapainya. Tapi setidaknya saya masih punya itu semua. Ya,
mimpi-mimpi itu masih saya miliki. Ia telah bersemayam lama dalam diri ini.
Mimpi.
Itulah yang saya butuhkan hari ini, esok, lusa, dan masa mendatang. Tanpa mimpi
orang seperti saya akan mati. Tercebur di samudera ketakutan. Terkubur dalam
lubang kekalutan. Dan berlumuran ketidak percayaan.
Bagi
saya, mimpi adalah rangkaian kehidupan yang harus saya genggam. Orang seperti
saya akan musnah tanpa adanya mimpi. Mimpi dan harapan itu saling bersinergi,
merangkai sebuah semangat yang tak pernah mati. Semanagat bertahan sekokoh
karang, meski di gulung ombak kesabaran. Semangat untuk tidak menyerah,
semangat untuk kerja hebat, dan semangat agar tak pernah mndahului nasib.
Mendahului
nasib. Ituah kata kunci atas setiap pertanyaan agar seseorang dapat terus
bertahan. Orang-orang pesimistis adalah mereka yang mendahului nasib. Meski tak
tahu akan seperti apa diri ini nanti. Meski tak dapat menebak apakah usai
mengantongi ijazah sarjana nasib baik akan datang menjemput. Tapi setidaknya di
sini, di titik ini, di tempat ini, di bangku kuliah ini, saya tidak akan pernah
mendahului nasib. Tidak akan pernag mendahuluinya.
Ada
banyak konsep kehidupan telah saya petakan. Meski hingga hari ini yang terlihat
justeru seolah saya mempetak-petakan hidup saya. Satu petak kecil untuk hal
ini, lebih kecil lagi untuk hal itu, dan sepetak besar untuk hal yang lain.
Mimpi
itu telah ada. Walaupun ada satu hal yang masih mengganjal, saya belum dapat
menarik benang merah jalur-jalur mimpi saya. Beberapa hal masih mengambang.
Bahkan menggantung di tempatnya tanpa ada perubahan signifikan. Orang lain
mengatakan “berproses”.
Semua
ini tengah berproses, dan tiap orang akan menjalani proses yang berbeda. Ada
yang berjalan cepat dalam meraih mimpinya. Ada pula yang berjalan lambat. Tak
selamanya orang yang berjalan lambat lebih buruk dari orang yang berjalan
cepat. Bisa jadi, saat proses itu ia belajar banyak hal, melihat kesuksesan
orang-orang yang berjalan cepat. Dan dapat menimbang mana yang jauh lebih baik
untuknya. “Dream High.”
Hari
ini saya tengah mengenang kembali mimpi saya dahulu, yang satu per satu telah
terwujud. Dengan mengenangnya membuat saya percaya bahwa Allah selalu
memperhatikan kita. Mendengarkan tiap teriakan mimpi-mimpi kita. Menghadiahkan
pada para pemberani itu buah paling manis dari bermimpi. Meski jalan yang di
lalui tak selamanya mudah, dan tak akan terlampau sulit. “Kau tahu? Buah paling
manis dari berani bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam
perjalanan menggapainya.” Andrea Hirata.
Saya,
selalu terkesima menyaksikan begitu banyak orang hebat di dunia ini, yang lahir
dari sebuah mimpi besar. Mereka berhasil memecahkan cangkang keraguan.
Pesimistis mereka lenyapkan dengan senyawa baru berupa semangat. Semangat,
selalu mereka pompa hingga menggelembung sebesar gajah. Saya belajar banyak
dari mereka.
Mimpi
itu saya tulis tiga senti dari mata saya. Agar ketika terbangun saya mendapati
mimpi itu benar-benar dekat. Lekat mengikuti saya. Tiap apa yang saya kerjakan
adalah sebuah proses untuk mencapai mimpi itu.
Saya
tulis kembali hari ini. Mimpi terbesar saya ialah menerbitkan senyum pada bibir
kedua orang tua saya. Mereka bangga atas apa yang saya lakukan. Mereka bahagia
atas apa yang saya peroleh. Dan mereka ridlho atas apa yang saya kerjakan.
Orang
tua saya bangga menyaksikan putrinya menjadi penulis terbaik Bangsa ini.
Melahirkan karya hebat untuk kemajuan umat yang masih tertinggal. Orang tua
saya bahagia mendapati putrinya ini sebagai seorang pendiri Lembaga
Kemanusiaan. Berbagi untuk sebuah kebajikan. Orang tua saya ridlho atas
putrinya ini. Sang pengelana tangguh, pengembara kehidupan yang kan menemukan
kunci-kunci atas setiap mimpi dan harapan.
Mimpi
ini tak lain saya persembahkan untuk keluarga saya. Untuk Ibu-Bapak saya. Orang
tua nomor 1 di seluruh dunia. Tanpa mereka saya tidak dapat bermimpi. Tanpa
mereka saya tak kan merasakan saripati hidup.
Posting Komentar
Posting Komentar