Kami mulai
lupa cara merangkai kata indah syarat makna tentang arti perjuangan. Lupa akan
tata baku kesyukuran atas setiap petak kasih yang Ia tebar lewat udara yang
tiap detik bergerak. Apalagi soal pedoman pokok kerja keras. Semangat kami
mulai luntur diguyur air asin yang keluar dari pori-pori kulit kami. Bah,
peduli benar kami tentang pantang menyerah nyatanya liur kami mulai getir
berkat disimpan tanpa umpatan.
Mengukur
yang tak mudah diukur.
Cukup, cukup
bagi kami untuk berdiam diri sejenak. Merasakan sari pati hidup yang mulai
tawar. Bukan karena sepi tantangan, melainkan desakan-desakan akan cita dan
cinta yang diam-diam kami tolak atau kami kubur lebih dalam. Sengaja betul kami
menyiapkan lubang kematian untuk sepotong demi sepotong harapan yang tak lagi
memiliki ruh. Menguburnya lantas melupakannya, meski sepotong hati kami yang
lain penuh sesak menangisinya.
Menimbang
yang tak mudah ditimbang.
Paradoks
kehidupan mulai menyapa kami dengan rupa menyeramkan, seolah ingin menakuti
kami tentang cerita kegagalan yang ia bawa dari tanah sebrang. Lakukan saja
semaumu, kata kami kemudian, sebab bagi kami semua ini sudah menjadi paradoks
yang patut kami sadari. Kami tak kan lari, karena lari hanya membuat kami jatuh
dan terluka. Cukuplah bagi kami untuk menyadari lantas menghadapinya.
Menakar yang
tak mudah ditakar.
Bah, semua
dihadapi seolah mata ini lebih dari dua, tangan ini lebih dari sepasang, kaki
ini lebih kuat dari besi. Nasihat seorang yang bijak sekalipun bagai air bah
yang mengguyur pertahanan kami, seorang bijak berpesan pada kami “Imunitasnya
itu dengan disuntik bakteri” mudah saja kami menjawab, nampaknya akan ada dua
kemungkinan, kemungkinan kami sembuh atau bakteri itu membunuh kami.
Menilai yang
tak mudah dinilai
Kami, kami
terlalu naif untuk menyadarinya. Dalam batas pandang kami dipenuhi lumpur mimpi
dan cita yang pada kenyataannya kami tak pernah bisa memilih, atau lebih
tepatnya tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Faktanya tidak ada pilihan
itu sendiri adalah pilihan yang harus kami hadapi. Lantas, kami berjalan di
atas pilihan kami. Tak peduli ia kan mengntar kami ke arah mana.
Ukuran sama
dengan sama.
Kepercayaan
kami seolah tanpa tanda batas. Yah, kami dibekali itu untuk menatap jalan yang
mesti kami lewati, tak peduli sempitnya jalan itu, tak peduli ia berkelok,
menanjak, menurun, terjal atau bahkan biasa-biasa saja. Hanya saja, ia tak
pernah seringkas pandang kami.
Kami hanya
butuh waktu sekejap, berdiam sejenak di rumah Mu.
Berharap
setiap Kasih Sayang Mu memeluk mimpi kami.
Karena
setiap kesyukuran tak bisa ditakar dengan ukuran.
Masjid
Kampus Undip, 15 Mei 2014
Posting Komentar
Posting Komentar