Seorang Jundiyah harus taat pada
Qiyadah kan?
Seorang Qiyadah sebagai teladan bagi
Jundiyah?
Seorang Jundiyah selalu “mendukung”
Qiyadah?
Semua
orang pun tahu, bahwa Qiyadah memiliki amanah yang luar biasa besar. Seperti halnya para panglima-panglima perang yang memimpin ratusan hingga ribuan
pasukan dalam sebuah kancah pertempuran. Ditambah bumbu-bumbu tentang dahsayatnya
pertempuran, plus slentingan kabar betapa kuatnyanya prajurit dan tangguhnya
komandan. Itu pasti seru sekali.
Ini bukan cerita seru atau tidak seru. Melainkan betapa kita dituntut untuk banyak belajar sejarah. Kita tidak akan ada tanpa adanya sejarah. Sejarah menuliskan dengan tinta emas betapa dahsyatnya pertempuran di bukit Uhud pada masa Rosululloh SAW. Pertempuran Sepuluh November di Surabaya, bahkan Perang Gerilya di zaman penjajahan. Pertempuran-pertempuran hebat itu tak lain dipimpin oleh komandan yang lebih dari hebat. Sebut saja Panglima Besar Jendral Soederman yang dengan gagah, memimpin Perang Gerilya meski tubuh sakitnya di tandu oleh prajurit.
Ini bukan cerita seru atau tidak seru. Melainkan betapa kita dituntut untuk banyak belajar sejarah. Kita tidak akan ada tanpa adanya sejarah. Sejarah menuliskan dengan tinta emas betapa dahsyatnya pertempuran di bukit Uhud pada masa Rosululloh SAW. Pertempuran Sepuluh November di Surabaya, bahkan Perang Gerilya di zaman penjajahan. Pertempuran-pertempuran hebat itu tak lain dipimpin oleh komandan yang lebih dari hebat. Sebut saja Panglima Besar Jendral Soederman yang dengan gagah, memimpin Perang Gerilya meski tubuh sakitnya di tandu oleh prajurit.
Di
negeri yang “aman tentram” ini, sepertinya kurang cocok dengan cerita klasik
diatas. Kisah-kisah itu lebih cocok jika disandingkan pada negara-negara yang
tengah mengalami guncangan wilayah. Negeri yang tak kunjung merayakan
kemerdekaan. Tak seperti negeri ini, yang tiap tahunnya tidak pernah alpa
memencet sirine detik-detik proklamasi plus seabrek perayaan kemerdekaan,
termasuk upacara panjat pinang, upss.
Bisa
jadi, kita lebih cocok jika mendengar kisah sejarah tentang betapa kerennya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin
atau Umar Bin Abdul Aziz. Lantas mencoba mengukir keteladanan beliau guna
memperbaiki diri. Kenyataannya sebagian dari kita justru lebih asik
membanding-bandingkan pemimpin negeri ini, dan mengakhiri obrolan dengan mengutip
kalimat dalam stiker yang biasanya tertempel pada angkutan-angkutan umum “Eseh Penak Jaman Ku, To Le.”
Sepertinya
kita masih kerepotan dengan masa lalu. Entahlah, mari kembali ke Qiyadah wa
Jundiyah. Analoginya, Qiyadah adalah seorang Nahkoda dalam sebuah pelayaran. Ia
memimpin ABK, dan penumpang lainnya. Nahkoda bertanggung jawab atas
pelayarannya. Kesalahan yang dilakukan penumpang menjadi tanggung
jawabnya-meski tidak sepenuhnya. Sedangkan ABK dan atau penumpang kapal juga
memiliki peran yang tak kalah penting. Ibarat peran pembantu, tokoh utama tidak
bisa memainkan peran dengan baik tanpa tokoh pembantu. Sama pula kisah Panglima
Besar Jendral Soederman, jika tak ada prajurit yang menandu beliau, tentu tak
ada cerita “Panglima Besar Jendral Soederman ditandu saat perang Gerilya”, tidak
lucu kan kalau ceritanya menjadi “Panglima Besar Jendral Soederman gagal perang
Gerilya, karena tidak ada prajurit yang mau mengangkat tandu.”
Begitu
pula Qiyadah wa Jundiyah, mereka memiliki peran yang berbeda namun dengan
capaian tujuan yang sama. Tiap orang mempunyai porsi masing-masing dan dituntut
agar lebih konstributif. Seperti yang disebutkan Hasan Al Banna tentang Arkanul
Bai’at. Rukun Bai’at yang ke lima sampai dengan sepuluh dapat kita implikasikan
dengan hubungan Qiyadah wa Jundiyah. Mulai dari Pengorbanan, Taat, Keteguhan,
Totalitas, Ukhuwah, hingga Tsiqoh.
Tsiqoh
atau rasa puasnya jundiyah atas Qiyadah, atas kepemimpinannya dan kekuasaannya
adalah hal yang amat sulit untuk dicapai. Meski itu bukan hal yang mustahil.
Namun, benar bukan? Dewasa ini kita kepayahan mencari pemimpin yang adil.
Bagaimana kita mendapatinya sementara kita berasumsi bahwa nilai sebuah
keadilan ialah relative. Juga benar dan salah. Semua terlihat semu. Tergantung
dari sisi mana melihatnya.
No body perfect.
Orang yang tak pernah mengecap bangku pendidikan pun tahu, tidak ada yang
sempurna, kesempurnaan hanya milik Nya. Namun, baik Qiyadah maupun Jundiyah
tentu berharap dan berusaha untuk mencapai kesempurnaan. Si Qiyadah berjuang
untuk sempurna dalam kepemimpinannya dan Si Jundi berusaha menjalankan
kewajiban dengan baik.
Dewasa
ini saya tengah menikmati masa-masa dari seorang Qiyadah menjadi seorang
Jundiyah. Ternyata hal ini cukup menyenangkan. Saya menikmati turning point: titik belok dalam hidup
saya, yang mungkin dirasakan pada tiap orang yang mencari jati diri. Meski saat
menjadi pemimpin saya tak seperti yang diharapkan. Bagaimana bisa, jika tiap
orang menyerukan tentang Ratu Adil,
pemimpin Robbani, sementara diri masih berproses dengan sejuta dalil itu.
Setiap
orang dituntut lebih banyak belajar. Karena hakikat kehidupan adalah
pembelajaran. Apa pun yang didapat, apa pun yang dirasakan, pengalaman apa pun
yang menjerang diri tentu menjadikan kita lebih banyak belajar dan jauh lebih
mengerti. Dimana saat menjadi Jundiyah kita harus mendukung Qiyadah.
Menghormati setiap wewnangnya, menghargai keputusannya. Terlebih keputusan
Syuro’, setelah bersepakat maka sebagai Jundiyah kita harus tsiqoh terhadap
Qiyadah, sehingga lahir rasa cinta untuk saling menghargai dan taat.
Seseorang
pernah berkata pada saya, “Kita bisa mencintai seseorang tanpa memimpinnya,
akan tetapi kita tidak bisa memimpin seseorang tanpa mencintainya.”
Wallohua’lam.
Posting Komentar
Posting Komentar