Di Seluruh belahan bumi ini, ada
begitu banyak orang yang menciptakan beragam teori. Mulai dari teori yang tidak
penting hingga teori penting yang melibatkan hajat hidup orang banyak. Banyak
dari mereka berteori tentang tawazun atau yang lebih kita kenal seimbang. Mulai
dari Ibu-Ibu kader kesehatan Desa atau Ibu-Ibu PKK, hingga teori keseimbangan
mahakarya ilmuwan-ilmuwan hebat sekelas Harun Yahya.
Sekarang bukan saatnya membedah
teori-teori mereka. Biarlah Ibu-Ibu PKK berkutat dengan teori keseimbangan
Empat Sehat Lima Sempurna. Harun Yahya dengan seabrek teorinya tentang
penciptaan. Dan saya, dengan teori saya sendiri.
Tak ada yang melarang saya
bereksperimen dengan teori saya. Teori yang mungkin unik, sebenarnya lebih tepat disebut ngawur, namun bisa jadi menggelitik.
Mari kita simak teori tawazun menurut orang awam ini.
Keseimbangan diibaratkan mengunjungi
warung bakso. Saya berani membayar mahal dengan jaminan kenikmatan yang
ditawarkan oleh semangkuk bakso lezat, dengan kuah nikmat, mie sehat, dan bakso
kualitas super. Saya pikir kita tak akan menyesal membayar mahal makanan,
asalkan kita puas. Ya, meski semua orang tahu kepuasan itu bersifat relatif.
Teori keseimbangan di atas hanyalah
sebuah analogi dari kehidupan kita. Rumusnya amat sederhana, ketika kita ingin
kaya maka berbagilah-teori sedekahnya Ippho Santoso, ketika ingin di dengar
maka mulai dari mendengarkan orang lain. Tapi, fokus saya bukan disini. Tawazun
ala Septi bukan lagi pembahasan mengenai rumus me-i dan di-kan. Mari kita simak
pendapat orang ini.
Lumrahnya, keseimbangan adalah
ketika timbangan menunjukan sama rata, tak berat sebelah walau hanya setengah
mili. Keseimbangan otak kanan dan kiri, ialah keseimbangan yang paling mudah dijadikan contoh, meskipun tak
mudah mencari orang yang memiliki keseimabangan dalam berpikir maupun
bertindak. Namun demikian, keseimbangan otak kanan dan otak kiri merupakan
suatu impian setiap orang. Sebab, bisa jadi hal tersebut melambangkan
kesempurnaan dalam salah satu sisi. Siapa yang tak ingin kesempurnaan?
Lalu, keseimbangan seperti apa? Saya
meniali tawazun itu berupa seimbanganya anatara mimpi dan usaha. Keseimbangan
anatara aktivitas dengan kerja otak. Mudahnya, mahasiswa yang aktif dalam
organisasi otaknya juga harus aktif dalam akademik, rajin beribadah, cakap
dalam bertutur, sopan dalam bersikap, dan memiliki wawasan yang luas. Perfact.
Yup, anak kecil pun tahu No
Bodty Perfact, so? Keseimbangan di atas ialah keseimbangan yang terlalu
menuntut. Jika seseorang telah sampai pada titik keseimbangan di atas, maka
dapat dikatakan orang tersebut Perfact.
Tentu setiap orang akan bekerja keras untuk memperoleh kesempurnaan. Tapi,
bukan hanya kesempurnaan yang kita cari, melainkan keseimbangan yang dapat kita
nikmati.
Banyak dari kita yang mungkin
mengalami kesulitan dalam menajemen diri. Tak mudah menyeimbangkan antara
aktivitas dan kerja otak. Tak banyak orang yang terlibat dalam banyak
organisasi dan memiliki prestasi akademik baik. Lebih banyak yang tak seimbang.
Lebih berat di organisasi dengan akademik cukup, atau sebaliknya, akademik baik
namun kurang dalam berorganisasi.
Tentu kebanyakan dari kita akan
bekerja hebat untuk memperoleh keseimbangan baik dalam akademik maupun
organisasi. Meski kita acapkali dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Ketika
kita salah dalam memilih dan menentukan manajemen prioritas hasilnya adalah
ketimpangan atau kita cukup pada kelas tengah. Tak lebih baik diantara salah
satunya. Lalu, bagaiman dalam bersikap?
Jadi, kembali pada bahasan awal.
Tawazun tak kan dapat dilepaskan dari komitmen diri dan sikap seseorang.
Tawazun ala Septi ialah ketika kita dapat menyeimbangkan kerja otak dengan
aktivitas kita. Berproses secara seimbang dengan tujuan pasti, dan menikmati
tiap proses yang dijalani, tanpa keluar dari aturan. Hasil ialah parameter dari
usaha yang kita jalani. Dan apapun hasilnya patut disyukuri dan dijadikan
evaluasi.
Posting Komentar
Posting Komentar