Kepalaku menoleh, menatap seonggok tubuh yang mabuk lemas di ujung mobil,
berdesakan dengan keranjang sayur mayur. Padahal sengaja benar memilih mobil
bak terbuka, “biar nggak mabuk”, kataku sebelum kami menaiki mobil, itu pun
sekedar alasan karena tak ada angkutan lain ke tempat yang akan kami tuju. Tapi
bau sayur mayur yang bercampur dan seharusnya menyegarkan indra penciuman justeru
menghasilkan rasa mual yang tak terhalaukan.
“Bentar lagi Sa” jawabku sekenarnya.
“Jauh betul, awas loh kalau jelek. Huh, udah nabung jauh-jauh hari pulak. Itu
duit hasil jualan piscok.”
“Beh, sabar dikit lah, dijamin keren deh.”
Aku Semakin tak berselera menanggapi Sasha. Sejak perjalanan dia merutuki
nasib dan perjalanannya denganku, mulai dari jalannya menanjak, menikung, berputar,
pusing, belum lagi bumbu-bumbu dia bilang
mual. Dan ini sudah kali ke 21 dia protes mengulang kalimat yang sama.
Sebenarnya sudah jauh-jauh hari kami merencanakan backpacker. Rencana awalnya
mau ke Belitong, sudah sampai kebawa mimpi membayangkan pelangi di Belitong
yang katanya luar dari biasa eksotisnya. Tapi apa daya, uang hasil jualan
jajanan macam pisang coklat tiap hari minggu di CFD belum cukup membiayayai
perjalanan kami berdua.
“Yang deket-deket dulu aja lah. Dieng”, kataku satu minggu yang lalu.
Rencana backpacker yang dahsyat sudah kami rancang dari kali pertama perkenalan kami di OSPEK Kampus. Masih Mahasiswa baru, begitu kenal langsung cocok, sok betul memetakan backpaker sampai ke Belitong. Pucuk dicinta, ulam menjauh. Bukannya menyiapkan perbekalan menjaring mimpi sampai Belitong, kami justeru ‘sok sibuk’ gabung di organisasi kampus. Tibalah saat kejenuhan menyeruak dan kami memutuskan merealisasikan mimpi kami.
“Masa rencana ke Belitong, ganti jadi ke Dieng! Itu masih di Jawa non!”
Itu semburan pertama Sasha saat aku mengajukan liburan ke Dieng.
“Logikanya nih Ra, kalau batal ke Belitong, minimal ke Bali lah. Kita lewat
jalan darat, Jawa Timur-Banyuwangi-Bali terus mentok ke Lombok!”
Yang ini semburan ke dua, dan itu masih berlanjut, bermalam-malam
berikutnya menjadi ‘perbincangan serius’ selingan saat kami mengerjakan paper
kuliah atau proposal event kampus. Ada yang
unik dengan persahabatan kami, dari Maba sampai sekarang semester empat tiap
hari diisi dengan kicauan pertengkaran, adu pendapat, dan diakhiri dengan
banting pintu kamar kotsan. Tak pernah ada yang mau mengalah. Dan hebatnya lagi
kami masih bertahan dengan ego kami. Batu, keras kepala, tapi tetap bertahan
bersama.
“Sa, Sashaaaa! Bangun, liat itu...”
Sengaja betul aku berteriak tepat di telinga Sasha. Cepat-cepat Sasha
berdiri, menyeimbangkan tubuh lemasnya yang tergoncang. Lima belas menit sudah
mobil pengangkut sayur yang kami tumpangi masuk ke perkampungan dengan jalan
berlubang. Gapura bertuliskan “Selamat datang di Sembungan Village, Desa
Tertinggi di Pulau Jawa” menyambut kami. Setelah menuruni jalanan yang terjal,
terbanting ke kanan ke kiri, kompak kami berteriak, “Ranu Kumbolo!”
Colt yang kami tumpangi berhenti tepat di bibir telaga Cebong. Tak sia-sia,
jalanan rusak, sempit, macet karena hanya bisa dilewati satu mobil bergantian,
luruh semua rasa sebal kami digantikan dengan pemandangan alami telaga cebong.
“Keren Ra, mirip-miriplah sama Ranu Kumbolo. Jadi, ini Si Kunir?”
“Belum Sha, kita masih harus naik ke bukit itu, di sana nanti kita lihat
pertunjukan yang lebih dahsyat.”
“Itu bukit Ra? Kayaknya tinggi deh. Bisa nggak ya?”
“Aku bilang juga apa Sha, joging tiap pagi, bukan tidur.”
“Iya, iya. Joging kok kemarin, sekali doang.”
“Bisa, bisa. Yuk keburu malam.”
***
“Berrr... dingin Ra. Ra, bangun, gila dingin banget nih Ra.”
Pendakian 45 menit, 2.350 DPL, cukup sudah membuat kami terkapar, dengan
tenda seadanya, SB, kami tertidur pulas. Suara-suara di luar tenda membangunkan
kami.
“Huaa.. banyak banget yang muncak Ra. Berrr, tapi dinginnya nggak nahaann.
Buru Ra, kita ke luar, Golden Sunrise” Sekali lagi Sasha berteriak, membuka
tenda.
“Kereeennn.... ini beneran Indonesia?”
Aku hanya mengangguk. Kami duduk sekenarnya di salah satu puncak tertinggi
Si Kunir. Mata kami mengikuti gerak perlahan dari ufuk timur. Semburat pertama sinar kekuningan, makin lama makin terang, sempurna membulat, titik
tengahnya merah menyala dan memendarkan cahaya kekuningan. Pukul 04:30, 5oC, Sembungan, Dieng, Indonesia. Tak berlebihan
orang-orang menobatkan gelar “Golden Sunrise tercantik se Asia”, dan ini
betul-betul di Indonesia.
Setelah si cantik kian meninggi, awan tipis berarak, gunung dan
bukit membiru, di sisi selatan berderet gunung Sindoro yang membayangi gunung sumbing, megah. Merbabu dan Merapi bersolekan gumpalan awan, kami tersihir oleh pertunjukan alam, dalam waktu singkat. Sempurna.
Saat kami mulai beranjak, warna keemasan matahari berubah
menjadi perak, telaga Cebong memantulkan pesona. Kabut menyelimuti desa Sembungan.
“Negeri di atas awan” bisik kami kompak.
Sejurus kemudian kami saling tatap, bercakap dalam diam dengan mata kami
terdalam. Tersenyum, kami pun bersepakat. Kami tetap bersahabat. Tanpa kata,
tanpa selisih, kami kuat menguatkan dengan sendirinya. Semua pertengkaran dan
perdebatan hanya bumbu pelengkap agar persahabatan kami tak kering.
Ujungnya, kami berjanji dalam diam, kami akan terus berjalan bersama atas
nama persahabatan dan cita. Menikmati setiap gemerlap di bumi kami tercinta,
Indonesia.
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .
Posting Komentar
Posting Komentar