Ini semua tentang ejaan yang pernah ku ucap pada sepetak
ruang kosong penuh harap yang tertutup rapat tirai-tirai keluguan. Teringat
jelas potongan gambar masa-masa SMA penuh semangat. Dengan seragam putih-abu ku
teriakkan semua mimpiku pada ruang bertirai itu, aku dan mimpi ku akan mengurai
tabir yang membatasi semua imaji. Penuh
gairah ku maknai setiap detik hidup dengan melesatkan harap pada secangkir rasa
yang ku teguk. Hari itu hari di mana aku melihat berupa pelangi menghiasi
tempat-tempat yang ku injak.
Berpeluh suka ku selami dahsyatnya karakter mimpi pada
ruang persegi penuh rak motivasi di perpustakaan depan sekolahku.
Kalimat-kalimat mimpi kami teriakkan membanjiri ruang kelas yang riuh, bersama
sahabat aku merasa lekat dengan setiap asa tanpa basa. Lantas tanpa peduli
nasib apa yang akan membawa kami, aku tetap bertahan pada keyakinanku atas
setiap harap yang dihembuskan oleh mimpi.
Tak disangka, perjalanan menuju mimpi tak semanis yang
dikira. Aku berpeluh luka melawati labirin kehidupan yang penuh liku. Mengais
dipojokan semangat yang mulai retak. Mimpi itu semakin samar menjauhiku, lantas
semua pikiran tanpa rasa mengotori nasib yang belum berlaku. Tepat sudah, ia
patah.
1,5 tahun aku habiskan tanpa gairah mengeja mimpi. Hanya
asa putus yang berlaku, hanya retaknya harapan yang tersimpan. Tapi kemudian
memori yang lalu membujukku. Ia yang mengawasiku selalu menampilkan rupa-rupa
mimpi yang pernah ku eja. Lantas ia muncul bak film yang diputar.
Aku kembali, kembali mengeja mimpi yang pernah patah.
Lantas kurekat kuat ia pada sebuah ranting kokoh. Semu kutampikan pada bias
suara yang tak lagi ku hiraukan. Satu per satu ku tata kembali huruf demi huruf
untuk ku eja, hingga akhirnya terlampau sudah masa-masa sulit itu.
Detik demi detik berlalu, matahari menyapa bulan, bulan
digantikan awan, awan bergelung hujan, satu masa berirama menikmati satu
persatu huruf yang dapat dieja. Cepat-cepat aku menyimpulkan, tak ada lagi
kesulitan, tak ada lagi tantangan berat. Pikirku sesudah kesulitan ada
kemudahan. Aku pikir, kemudahan-kemudahan itu akan bertahta dan berkuasa,
mendampingi hari-hari yang mampu buat ku tersenyum.
Sekali lagi aku terlalu cepat menyimpulkan. Belum sempat
ku tarik benang merah hidup, tantangan demi tantangan bergerumul menyerang dari
segala penjuru. Segala hujatan melesat bagai anak panah, tuntutan jauh lebih
banyak berkelekar mengelilingi rapuhnya pertahanan. Ia bercerita tentang
persaingan asah otak, pertempuran dunia kerja, sesaknya tanggung jawab. Mereka
berdesak-desakan dalam ringkihnya fisik.
Kuasa-Nya kembali menjamu sahabat-sahabat keterbatasan.
Ia meluruskan persepsi yang keliru. Bukan sesudah kesulitan ada kemudahan,
melainkan bersama kesulitan ada kemudahan. Karena kesulitan-kesulitan akan
terus membersamai, hanya saja tak kan melampaui batas sukar. Kuasa Nya saat memperkenalkan
kesulitan Ia juga menyapa kemudahan untuk disandingkan.
Kepada sertifikat-sertifikat kegagalan yang menumpuk
lebih banyak, ia menjadi semacam lecutan untuk terus berjuang. Karena saat ini,
perlu ditahui, ini belum apa-apa. Suatu hari nanti kita akan dipertemukan pada
ruang lebih rumit dibanding hari ini. Dengan berbekal sertifikat kegagalan,
seyogyanya kita mampu melewati bagian itu tanpa rusuh.
Maka, pada sahabatku bernama mimpi, aku akan mengeja
engkau tanpa henti. Hingga lidahku kelu, dan saat itu terjadi ku pastikan kau
sempurna terangkai pada kata, tanpa perlu lagi ku eja.
Terima kasih pada kesombongan yang pernah berkelekar, kau bagai monster yang ingin ku hancurkan.
Terima kasih pada Pak Cik Andrea Hirata, kalau kau tak menghembuskan
kekuatan mimpi itu, aku tak yakin aku bisa bertahan.
Terima kasih pada ego ku yg begitu keras-membatu.
Terima kasih pada setiap kesulitan, kau sahabat terbaikku, mengajariku
tentang tersungkur, dengan begitu aku belajar untuk bangkit.
Semarang, 26 November 2015
Posting Komentar
Posting Komentar