Hai inspirasi, terima kasih sudah jauh-jauh
berkunjung.
Aku dan kamu adalah satu yang tak dapat
dipisahkan.
Itu katau, entah katamu.
***
“Sep, kalau begitu kenapa kamu tak ambil kuliah keguruan? Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia misalnya.”
“Sep, kamu salah kampus ya? Mustinya di UNNES sono, ngapain di
sini?”
Pertanyaan-pertanyaan ini hampir selalu menghampiriku. Wajar saja
mereka bertanya, terlabih kalau yang bertanya anak keguruan. Serasa aku
mengambil lahan mereka untuk mengajar. Baiklah, akan aku ceritakan bagaimana
aku yang sedari kecil bercita-cita menjadi guru, ya guru, bukan dosen seperti
yang diinginkan Bapakku.
foto saat kegiatan div.pendidikan SDP Etos Semarang |
Saat kecil, tentu sebagian besar dari kita telah berani
mengumumkan apa cita-cita kita. Karena itu
menjadi menu wajib mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam hal ini mengarang cerita dan menentukan cita-cita. Aku, sedari dulu selalu menyebut “guru” sebagai cita-citaku. Guru apa? Guru SD. Begitu kataku dulu, terinspirasi dari guru-guru SD ku yang luar biasa.
menjadi menu wajib mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam hal ini mengarang cerita dan menentukan cita-cita. Aku, sedari dulu selalu menyebut “guru” sebagai cita-citaku. Guru apa? Guru SD. Begitu kataku dulu, terinspirasi dari guru-guru SD ku yang luar biasa.
Seiring beranjaknya waktu, di tahun 2010 tepat di semester dua
kelas dua belas, aku mengerut di bangku sekolah. Keyakinanku untuk melanjutkan
kuliah goyah. Soal apalagi? Tentu segala hal tentang keterbatasan. Keterbatasan
biaya, keterbatasan akses beasiswa, dan segala hal yang membuatku merasa ciut.
2010 tahun pertama bidikmisi diluncurkan pemerintah. Entah apa
soal, aku yang mendaftar diri pada jurusan Dakwah IAIN Walisongo Semarang lewat
jalur PMDK tak diterima. Kegagalan ini membuat semangatku berguguran. Aku tak
tahu lagi bagaimana caranya agar aku bisa melanjutkan pendidikan.
Tak menjadi mahasiswa bukan berarti memadamkan semangatku menjadi
guru. Di akhir tahun 2010, aku justru resmi menjadi seorang guru di sebuah PAUD
yang baru akan didirikan. Aku bersama dengan dua guru lainnya mengurus segala
ini dan itu untuk mendirikan sebuah PAUD. Dua tahun menjadi guru di sekolah
kampung, betapa aku sering tersenyum sendiri, Sang Pemilik Kehendak begitu baik
padaku. Mengabulkan mimpiku lebih cepat dari yang aku duga.
Sebagai lulusan SMA lebih tepatnya MAN yang kemudian menjadi guru,
tentu bukan berarti tak ku temui kendala. Bulan-bulan saat sertifikasi guru
digencarkan, Himpunan PAUD Kecamatan mendesak guru-guru yang belum mengambil
pendidikan lanjut untuk segera melanjutkan pendidikan, dalam hal ini mengikuti
kuliah terbuka. Dalam diriku yang masih tersimpan cita-cita kuliah di
Universitas terbaik di negeri ini, tawaran kuliah terbuka tak membuatku
tertarik.
Juni 2011 menjadi titik balik dalam hidupku. Aku dikenalkan dengan
Beastudi Etos. Sebuah program beasiswa dari Dompet Dhuafa. Aku siapkan diri
untuk mendaftar Beastudi Etos. Dalam proses pendaftaran aku sempat bimbang
dengan jurusan, aku yang sedari awal mengharapkan pendidikan guru mendapati tak
ada jurusan pendidikan guru pada universitas yang direkomendasikan Beastudi
Etos. Setelah memohon petunjuk pada Sang Penunjuk Hidup, aku mantap untuk
membelokkan mimpiku kuliah pendidikan.
Kuliahku bukan pendidikan, Sastra Indonesia Undip. Lantas, apakah
mimpiku menjadi seorang guru berakhir? Apakah aku tak boleh menjadi guru?
Menjadi guru adalah panggilan jiwa. Sampai hari ini aku masih tetap
mengajar. Apa pun, bagaimana pun, kesenanganku adalah mengajar dan menulis. Mari
mensyukuri hidup dan membagikannya. Syukuri dan berbagi. J
Posting Komentar
Posting Komentar