“Elah
Mak, udah rusak gini gimana makenya?
“Yodah,
benerin dulu ya.”
***
Malang, 28-30 Februari 2018
Kabut, mendung, dan sejuk, begitulah Malang menyambutku yang entah
kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di kota ini. Belasan tahun yang lalu
mungkin, saat diri masih belum pandai betul menyimpan kenangan, apalagi
menulisnya dalam sebuah catatan. Kapan pun itu, hari ini aku ingin mencipta
kenangan baru yang ketika nanti aku mengingatnya menjadi sebuah kisah
perjalanan yang menarik dalam salah satu episode hidupku.
Aku tidak akan banyak bercerita tentang kuliner, Jatim Park, atau
wisata-wisata lainnya. Sedikit saja, kunjungan pertamaku ke Argowisata terkenal
di kota Batu, “petik buah apel”, ya, itu katanya wisata menarik. Aiih, aku lupa
kalau Bapakku seorang petani, “Kok
nggumun men petik apel” pasti itu komentar Babe kalau tahu anaknya
jauh-jauh ke Malang buat petik buah apel.
Selepas wisata kebon, aku memutuskan turun gunung saja, hehe.
Entahlah hati ini tak
begitu tertarik dengan Jatim Park, Museum angkut, objek-objek wisata yang dilewati mobil kami. Sepanjang jalanan turun gunung, si mas supir yang sekaligus jadi tour guide agak kesel karena aku begitu pilih-pilih tempat wisata. “Apa mau ke pantai? Pantai di Malang bagus-bagus loh.” Celetuk si mas supir yang mulai lelah.
begitu tertarik dengan Jatim Park, Museum angkut, objek-objek wisata yang dilewati mobil kami. Sepanjang jalanan turun gunung, si mas supir yang sekaligus jadi tour guide agak kesel karena aku begitu pilih-pilih tempat wisata. “Apa mau ke pantai? Pantai di Malang bagus-bagus loh.” Celetuk si mas supir yang mulai lelah.
Jelas, aku girang mendengar kata pantai. Penumpang mobil mulai
menebak, kalau aku lebih tertarik wisata alam, dibanding wisata-wisata
konfensional (apa ini? bener gak si? Hehe). “Tadinya mau tante ajak ke Bromo.”
Desis tanteku kemudian. Aiiiih, itu mimpiku entah dari jaman semester kapan.
Sekalian saja aku tuturkan list tempat-tempat di Jatim yang ingin ku kunjungi,
mulai dari Bromo, Ijen, Pantai Merah, Banyuwangi, de el el. Penghuni mobil
meneriakan yel-yel Arema saat aku merepet minta ini dan itu.
“Aih, Aremania udah macam Spanyol ya... Sepak Bola dah macam
agama.” Komentarku semakin membuat kencang teriakan yel-yel mereka. Ah, bola.
Bagian ini nanti aku ceritakan, tentang teman perjalanan di kereta yang Jek
Mania.
“Ah ya, kenapa tak berpoto di salah satu kampus beken ini?” Kataku
kemudian saat mobil melewati UMM. Yups, sudah terlewat. Nyengir saja diriku di
bangku belakang saat dirinya (*baca si mas supir) memutar balik kemudi. Sekali-kali
deh ya, nurutin sodara nggak tahu diri yang nggak pernah berkunjung. Sekalinya
kunjungan minta ini dan itu. Keyakinanku, seluruh rombongan kapok dengan
kehadiranku. Wkwkwk, lebay.
Naik mobil lagi. Aseli ini kalau jadi film, adegan kebanyakan di
mobil. Perutku tanpa sopan santu bertutur “Bakso Malang!” yeay, sepanjang jalan
awas betul mata ini memeriksa satu per satu jalanan demi semangkok bakso
Malang. Hasilnya? Aseli, tak ada satu pun warung bakso yang berjudul “Bakso
Malang”. Tapi tetep dong makan bakso. Judulnya Bakso President, konon bakso ini
bakso terenak di kota Malang.
Lha, katanya nggak banyak cerita wisata sama kuliner. Hehe. Itu
udah disingkat betul kok. Jadi, kisah aseli dari mozaik kali ini adalah... aku
banyak merenung di rumah tanteku (rumahnya pelosok banget coy... Naik ke
perbukitan, lewatin sungai-sungai, jalan berlumpur, berbatu, beneran deh, usut
punya usut jalan utamanya dalam perbaikan, jadi agak lebay gitu nglewatin
jalanan rusak). Balik lagi tentang merenung. Aku banyak merenung, karena batal
ke pantai. Wakakak, sedih iya sih, tapi dikit aja. Hehe. Soalnya, aku sudah
dapatkan misi perjalanan kali ini. sudah ku tempel sepotong mozaik kehidupanku
yang baru. Simak di bawah ini..
***
Beliau tanteku. Seorang yang sedikit sekali perjumpaanku dengan
nya, tapi begitu banyak inspirasi yang meneguhkan dari beliau. Perjumpaan yang
singkat di kala aku masih awal remaja, dan perjumpaan singkat di perjalananku
di Malang kali ini. Ya, tujuan utamaku ke Malang untuk menemuinya, menyambung
silaturahim yang entah apa kabarnya. Maka, berwisata hanyalah bumbu pelengkap
agar perjalanan makin semarak oleh ragam pengalaman.
Beliau tanteku. Menapaki jalan hijrahnya saat di Hongkong. Aku tak
tahu pasti bagaimana kisahnya. Yang aku tahu, saat aku baru berhijrah dengan
segala ujian yang memainkan segenap emosi, beliau datang. Kata-katanya tak
banyak, karena sekali lagi, waktu yang ku habiskan dengannya tak lebih dari
bilangan jari.
Pertemuan ku dengannya dulu, mungkinkah ia mengingatnya? Aku kira
tidak. Tapi bagiku, jelas betul dalam memori ingatanku. Saat kebanyakan orang
mencemoh kain penutup kepalaku, saat jalan hijrahku menjadi menu bully menarik, ia dengan heroik
membelaku. Untuk pertama kalinya, ada yang terang-terangan membelaku di depan
umum. Betapa aku akan mengingatnya.
Pertemuan kali ini di Malang, bukan untuk menceritakan kembali
pada nya tentang kenanngan masa lalu. Biarlah, ia sudah tertinggal begitu jauh
di belakang. Aku ingin menyapanya hari ini, untuk sebuah hikmah baru. Kembali,
ia mengajariku banyak hal. Salah satunya, yang terus aku kenang hingga hari
ini. Bahwa, menyusuri jalan hijrah itu tak mudah, maka saat diraih,
istiqomahlah. Karena nyata-nyata istiqomah jauh lebih tak mudah. Jika iman di
titik terendah, ingatlah titik hijrahmu dulu. Saat segala putusan digigit kuat
oleh geraham. Lalu, kau tak paksakan rusaknya iman untuk berlari. Hanya butuh
waktu untuk perbaiki. Ia, tak menuturkannya padaku, tapi ia memperlihatkannya.
Beliau tanteku. Tante juara satu.
Nb:
Judul terinspirasi dari karya Andrea Hirata, “Ayah Juara Satu”
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus