Rupanya bukan hanya Syawal yang menjadi pilihan ikrarnya akad yang mengikatkan dua hati. Rajab sebagai penanda dekatnya Ramadhan pun menjadi momentum begitu banyak pasangan dalam rangka menyempurnakan separuh agama lewat perjanjian suci.
Setiap pasangan selalu punya kisah menarik dalam mengikat hati untuk mengikuti sunnah nabi. Sebut saja kisah Fatimah dan Ali, kisah cinta termahsyur yang tak bosan dikisahkan berulang kali. Aih, kalau baca kisah Fatimah dan Ali, selalu buat iri dan bikin mesam-mesem sendiri, hanyoo ngakuu...
Pada pertengahan tahun 2009, saat film Ketika Cinta Bertasbih (KCB) mengudara, kisah cinta Azzam dan Ana menjadi yang paling seru diperbincangkan. Apa lagi kalau bukan adegan Ana yang kecopetan dibantu oleh Azzam, diakhir sesi Ana berteriak, “Mas, namanya siapa?” Jawab Azam, “Abdulloh.” Ecieee, kamu pasti lagi senyum-senyum ngebayangin adegan itu, berharap bisa jadi Ana yang ketemu orang sebaik Abdulloh.
Ada satu kisah yang tak kalah heroik dan romantis semacam kisah Azzam dan Ana. Kisah yang terjadi di tahun 1990 (aseek udah macam Dilan 1990 kah, apa ganti judul cerita aja ya? Dilan 1990. Hewhew). Aiih, telah lama nian ingin ku kisahkan ini. Semakin menggebu-gebu saat
dulu pertama kali baca novel KCB. Tapi semua itu kandas. Baru hari ini ku kisahkan. Kenapa hari ini? Efek dikirimin undangan nikah bertubi-tubi.
Dikisahkan dari si empunya cerita (udah macam prolog di cerita sastra melayu klasik), pada pertengahan bulan Oktober tahun 90, seorang gadis tangguh nan penuh percaya diri tengah bermain-main siang-siang hari senin (eh, nggak tahu ding hari apa), mengunjungi rumah salah satu kawan di suatu kampung yang berbeda dari tempat ia tinggal. Mulanya ia amat menikmati keindahan kampung tersebut, merasakan sensasi petik buah salak langsung dari pohonnya-ah ya, kota ini terkenal dengan buah salaknya. Tengah asyiknya, entah karena kurang berhati-hati atau memang inilah takdir hidupnya bermula, si gadis tertusuk duri salak pada jemarinya. Ia merintih kesakitan, hingga datanglah sesosok pria baik hati, tinggi, rupawan memberikan pertolongan. Ia berikan sebuah jarum tajam untuk mengeluarkan duri yang bersarang.
Setelah dirasa cukup waktu untuk bersilaturahim dengan kawannya, si gadis pulang ke kampung halamannya di kota seberang. Ia kira kisah tertusuk duri akan selesai begitu saja. Tapi entahlah, ada semacam perasaan yang mengganggu. Ada bayang yang tiap malam datang menghampiri. Berkecamuk sudah perasaan si gadis mengingat usianya pun mendekati seperempat abad, usia di mana kawan-kawannya telah banyak menemukan kekasih hati, tetapi ia tak juga kunjung menemukan tambatan hati. Perasaannya semakin berkecamuk setelah kejadian di kota sebrang yang tak hanya menyisakan perih di jari namun juga di hati. Hanya perihnya di jari beda rasa dengan perih di hati. Yang di jari terlihat oleh mata, yang di hati mana ada bisa dilihat, dirasa pun tak mengerti makna rasanya. Si gadis mulai panjatkan doa dengan menyebut nama si pria pemberi jarum, sembari berharap yang terbaik dari Sang Pemilik Hati.
Tak lama berselang, bulan berikutnya si pria baik hati, tinggi, rupawan, bertamu ke rumah si gadis. Terkejutlah si gadis, terlebih saat si pria datang tak seorang diri. Ia datang bersama orang tuanya yang bercakap, “Kalau berkenan, langsung saja dinikahkan.” Bak petir menyambar di siang hari tanpa perantara mendung apalagi hujan, sedang mentari terik menyinari, sedang luka di jari seakan belum kering benar (lebay, padahal mah kena duri salak sehari dua hari juga sembuh. Wkwk, biar dramatisir sob..).
“Inikah jawaban dari doa yang ia panjatkan?” Jerit hati si gadis. Tanpa adegan pacaran macam teman-taman sebaya? Tanpa berkirim surat merah jambu yang diantarkan tukang pos dengan senyum sipu? Apalagi berkenalan lewat macam aplikasi smartphone, HP paling jadul pun tak dimiliki keduanya.
Hati si gadis mantap, semantap si pria dengan keberanian dan kesahajaannya. Anggukan kecil menjadi jawaban si gadis. Dalam tempo sesingkat-singkatnya telah diputuskan hari dan tanggal ikrar sucinyanya si gadis tangguh nan percaya diri dengan si pria baik hati, tinggi, rupawan.
Sabtu, 22 Desember 1990, menjadi saksi perjanjian antara dua hati mengikrarkan janji suci dengan Robbnya. Kamis, 22 Agustus 1991, lahir putra pertamanya, disusul kemudian, Sabtu, 12 September 1992 putri ke duanya lahir. Kamu tahu? Itu tanggal lahirku.. Wkwkwk.
Begitulah cerita cinta Bapak-Mamakku. Enggak kalah romantis kan sama cerita FTV? Hehehe. Kalau kurang romantis, anggap aja romantis. Meski kisah cinta keduanya setelahnya, nggak romantis-romantis amat. Bahahaha. Mana ada romantis-romantisnya emak-babe gue yang galak buanget itu. Nggak nyangka aja, segalak emak-babe yang dikit-dikit teriak, “ngaji!”, “belajar!”, “tidur!”, dan teriakan-teriakan lainnya, ternyata punya kisah seromantis itu. Wkwkwk.
Ada begitu banyak kisah cinta di muka bumi ini. Kisah cinta yang bisa kita teladani sisi positifnya. Aku tahu, Bapak-Mamakku bukan seorang yang pandai agamanya. Bukan seorang yang sempurna baik akhlaknya. Tapi dari keduanya aku selalu belajar. Belajar tentang makna kehidupan sejati, kesenangan berbagi, dan tak pernah lepas dari pengharapan terbaik kepada Sang Khalik.
Jangan pernah berhenti melesatkan harapan terbaik lewat doa. Terlebih lagi buat kita-kita yang bertanya-tanya, “kapan jodoh bertamu?” Mari kita benahi diri. Allah masih merindui munajat panjang kita tentang harapan-harapan yang sering kali meresahkan hati. Resahnya hati? Bukankah itu tanda minimnya keyakinan kita pada Robb Pemilik Hati? Jangan resah wahai hati. Allah bahkan Paling Tahu apa yang kita mau, apa yang terbaik untuk kita. Temui ia dalam doa, yang meski tak ditahui siapa ia, tapi kita bisa mendoa untuk masa depan yang disemogakan, karena yang pasti hanyalah milik-Nya.
Jadikan kisah-kisah terbaik generasi terdahulu sebagai teladan menjaga diri. Kisah Fatimah dan Ali misalnya. Betapa keduanya mencinta dalam taat. Tak ada kata Love You terucap sebelum sempurnanya akad. Tak ada permohonan mendesak pada Sang Pemilik Cinta selain keikhlasan yang berpadu dengan taatnya diri menggigit syariat. Maka keduanya yang menjaga diri dan kehormatannya masing-masing, menjadi sempurna ketaatannya saat bersama menunaikan Sunnah sang Nabi. Separuh lainnya, keduanya jaga dengan taqwa yang menjadi sebaik-baik pakaian bagi hamba yang taat.
“Apabila seseorang melaksanakan pernikahan, berarti telah menyempurnakan separuh agamanya, maka hendaklah ia menjaga separuh yang lain dengan bertaqwa kepada Allah SWT.” (HR. Baihaqi dari Anas bin Malik)
Posting Komentar
Posting Komentar