Dulu sekali, yang ada dipikiran saya adalah, melanjutkan kuliah. Maka berbagai cara saya tempuh. Mulai dari merengek ke Bapak dan Ibu sampai maksa ada rapat keluarga dadakan. Bahkan tidak pernah sebelumnya ada tradisi ini dalam keluarga kami. Alhamdulillah, Allah kasih keputusan terbaik. Izin kuliah diberikan. Ini masih izin loh ya.
Saya dapat sandungan lainnya. Sesaat setelah menjalani Ujian Akhir Sekolah, hape saya berdering, “Bapak Kecelakaan”, isi pesannya seperti ini. Saya baca sambil tangan gemetar dan pikiran kosong. Saya pulang dari sekolah dengan pikiran entah dimana dan langsung menuju Rumah Sakit. Sesampai di sana, saya sempatkan bertemu Bapak yang sudah sangat dingin tangannya. Kami sempat berbicara, meski saya tidak mampu mendengar dengan jelas apa yang beliau ucapkan. Sayangnya, saya harus pulang karena besok harus tetap menjalani ujian, pesan Ibu, yang berdiri di kamar rumah sakit, mencoba tegar namun saya tahu beliau hanya berpura-pura.
Subuh, esok hari, saya dikagetkan dengan kabar, Bapak sudah tidak ada. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Pupus sudah rencana saya. Ini bukan hanya tentang mimpi saya semata. Tapi 17 tahun saya hidup, Bapak-lah tempat saya bercerita dan berbagi mimpi. Bapak-lah tempat saya melihat sosok inspirasi dalam hidup. Sayang, saya tidak bisa mendampingi di waktu terakhirnya. Sayang, saya tidak bisa membuktikan mimpi saya kepada beliau. Sayang juga, karena mimpi perkuliahan dan rencana strategis hidup saya terkubur bersamaan dengan jasad beliau. Beliau tidak sempat membagikan itu kepada Ibu. Alhasil saat saya diterima jalur undangan untuk kuliah di Teknik Perkapalan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ibu gelagapan. Gelagapan karena tidak siap kehilangan lagi untuk kedua kali belahan jiwanya. Kehilangan suami untuk selamanya, sebentar lagi akan kehilangan anak bungsunya untuk beberapa tahun.
Saya dengan kekerasan kepala, turunan Bapak, memaksa kuliah. Mogok bicara dengan Ibu yang pada akhirnya membuat Ibu luluh untuk mengizinkan saya kuliah. Lagi-lagi masih izin saja. Pertanyaan selanjutnya, dengan uang apa saya kuliah? Ah Bapak, walaupun sudah meninggal masih saja memberi kebermanfaatan untuk saya. Uang sisa asuransi kecelakaan Bapak diberikan ke saya untuk uang awal kuliah dan mencari tempat tinggal di Surabaya, kota yang saya tidak punya siapa-siapa kecuali Allah dan keyakinan saya.
Saya ditolong oleh banyak ‘malaikat’ Allah setibanya di Surabaya. Mulai dari kenalan saat berorganisasi di Rohani Islam (Rohis) kala di SMA, yang menawarkan tumpangan kosnya. Sampai kenalan-kenalan lainnya yang entah dengan jejaring apa saya akhirnya bisa kenal dengan beliau-beliau semua. Alhamdulillah, dengan izin Allah, saya mendapat beasiswa, bahkan dobel, Beastudi Etos dengan asrama dan pembinaannya, pun dengan Bidikmisi yang memberikan jaminan Biaya Pendidikan dan uang saku.
Ya Allah, saksikanlah. Saya berhutang diri sangat banyak terhadap ummat, bahkan saya bisa merasakan hidup lebih baik saat ini juga karena uang zakat yang diberikan dalam pengelolaannya di Beastudi Etos.
Dengan izin Allah, saya dibina di Etos, untuk memiliki mimpi dan cita-cita dalam hidup. Maka saya targetkan agar bisa menginjakan kaki di belahan dunia lainnya, Allah memberikan jawaban itu. Semester 3 perkuliahan, saya dibantu oleh malaikat-malaikat-Nya yang diturunkan dalam bentuk manusia, berhasil menginjakan kaki di Jepang. Ah, kalau bukan karena Engkau, maka siapa saya ini ya Rabb.
Ingatan saya lantas teringat dengan kepingan memori beberapa waktu lalu saat duduk di bangku SMP dan SMA. Saya ingat dulu pernah ditawari jadi Ketua (BPH) di OSIS-SMP dan petinggi di OSIS pun ROHIS SMA, tapi saya mundur. Saya tahu diri. Saya tidak punya apa-apa waktu itu. Saya minder bahkan merasa inferior. Maka di kampus, di awal masuk saya meng-azzamkan diri. Saya tidak akan lulus dari kampus ini tanpa meninggalkan jejak yang patut dikenang.
Allahu Akbar, dengan izinnya, saya dikasih amanah menjadi seorang Ketua Himpunan di Teknik Perkapalan, yang karenanya, saya hampir di-DO dari perkuliahan. Lantas bersama-sama rekan di kampus, kami mencalonkan diri menjadi Tim Presiden BEM di ITS. Alhamdulillah, Allah gagalkan saya di bidang itu. Tapi kami membuat satu komunitas, yang Alhamdulillah, bahkan ketika saya tidak lagi di dalamnya, malah semakin luar biasa pergerakannya, Teknokrat Muda Indonesia namanya.
Ya Allah, rasanya diri ini terlalu hina untuk tidak bersyukur kepadamu. Rasanya diri ini terlalu angkuh untuk tidak mengucapkan kalimat tasbih untuk meng-agungkan-Mu. Kalau bukan karena pertolongan-Mu, maka siapa lah hamba yang hina ini berani memimpikan memegang amanah dalam pengelolaan SDM strategis Indonesia bersama Etos ID, Dompet Dhuafa?
Maka saksikanlah kawan, Zakat kalian sangat berguna bagi saya. #BerawaldariZakat, saya bisa merasakan hidup yang lebih baik. Sekarang saya tidak malu untuk mengatakan, saya ini adalah kader Dompet Dhuafa yang lahir dari tangan-tangan dan didikan orang-orang terbaik. Semoga para donatur, amil, dan karyawan yang terus menebar kebermanfaatan di Dompet Dhuafa diberikan pahala yang tidak pernah putus-putusnya di sisi Allah.
Ditulis oleh: Pandu Heru Satrio (Alumni Penerima Manfaat Dompet Dhuafa)
Posting Komentar
Posting Komentar