Kehidupan bermasyarakat di Indonesia belakangan ini sedang diramaikan oleh kejadian luar biasa berupa Pandemi Covid-19. Alhasil, tidak sedikit aktivitas pekerjaan, pembelajaran bahkan peribadatan terpaksa dilakukan sendiri-sendiri. Tidak kehilangan akal, mereka yang pada akhirnya menggunakan fasilitas teknologi yang sudah semakin berkembang yakni video conference. Sebutlah zoom, webex, google meeting dan banyak lainnya. Tapi bukan itu yang ingin saya diskusikan di tulisan ini. Melainkan sebuah pertanyaan yang merasuki benak saya belakangan ini, benarkah Bangsa Indonesia sangat pas jika disebut latah?
Ternyata eh ternyata, budaya ikut-ikutan ini sudah ada sejak zaman saya kecil. Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, ada salah satu program televisi yang cukup populer. Kegiatan utamanya adalah perlombaan nyanyi, usut punya usut namanya adalah Indonesian Id*ol. Saat saya kecil dulu, saya termasuk di dalamnya yang mengagumi program ini. Bahkan saya masih ingat siapa yang juara di sesi pertama, kedua dan seterusnya. Sampai waktunya saya sudah berada di tingkat sekolah yang lebih tinggi, saya menyadari kalau program televisi tadi ternyata sama persis dengan program yang lebih dulu ada di Negeri Paman Sam (Amerika). Budaya ikut-ikutan ini ternyata memang sudah ada sejak dulu sekali ya. Bahkan mungkin sebelum saya lahir.
Lebih dari itu, ternyata budaya nge-ekor (ngekor) ini bukan hanya pada progam televisi semata. Bahkan untuk unsur yang lebih serius, Bangsa Indonesia pun terkenal dengan budaya ngekornya. Sebut saja dalam dunia bisnis, lebih tepatnya jualan. Semasa saya mengenyam bangku perkuliahan, ada satu fenomena minuman dan makanan yang menarik, antara lain Es Kepal Milo, Seblak Pedas, Ceker Mercon dan masih banyak lainnya. Asal muasal makanan ini sebenarnya dari wilayah Indonesia bagian tertentu, tapi karena kemudahan informasi dengan media sosial, tidak heran, banyak teman-teman saya di kampus waktu itu yang juga ngekor untuk berjualan hal yang serupa. Tidak terkecuali saya, yang pernah ikut-ikutan jualan, meski bukan jualan makanan tersebut, tapi saya pernah berjualan aneka macam seperti dompet, power bank dan lainnya. Meski itu karena faktor ekonomi sih ya, kebutuhan, alias mepet banget.
Kalau mau diuraikan lebih dalam contoh-contoh detailnya, sebenarnya banyak banget. Semoga dua contoh di atas bisa menggambarkan betapa mirisnya budaya kita dalam hal ikut-ikutan ini. Saya mau disclaimer sedikit ya. Bukan saya tidak setuju kalau ada yang membuka usaha untuk jualan atau membuat kegiatan positif dengann fasilitas yang ada. Bukan itu. Tapi sebagaimana prinsip diri yang harus dimiliki. Saya dan mungkin Anda, harus memiliki keyakinan terlebih dahulu atas apa yang akan dilakukan. Jangan sampai jika orang-orang melakukan kebaikan, maka saya atau mungkin Anda melakukan kebaikan. Sementara, jika orang-orang mulai meninggalkan kebaikan tersebut, lantas saya atau Anda pun melakukan hal yang sama. Maka bukan poin itu yang saya ingin bahas dalam tulisan ini.
Lantas apa yang ingin dibahas?
Okey, kita masuk ke intinya. Sebenarnya salah gak sih kita punya kebiasaan copas (copy paste)? Saya ingin jawab dengan bukti sejarah. Semua pasti mengetahui dan bersepakat bahwa perkembangan informasi, teknologi dan kemajuan ekonomi saat ini dipimpin oleh negara-negara barat. Tapi kalau boleh jujur, apakah kemajuan yang diperoleh oleh mereka semata-mata karena kehebatan mereka? sesungguhnya tidak! Karena ada transmigrasi ilmu 1 - Dr. Syamsuddin Arif menyebutnya, yang terjadi.
Dalam tulisannya, ada satu kasus menarik yang ternyata tidak diketahui oleh banyak orang terutama dalam hal budaya meniru ini. Adalah Adelard Bath (hidup antara 1080-1150 M), seorang ilmuwan pertama Inggris yang hidup jauh sebelum Boyle dan Newton. Singkat cerita Adelard ini menimba ilmu sampai ke Antioch (Syiria), Tarsus (Turki) dan Sicily (Itali) – yang hingga 1072 M masih menjadi bagian dari wilayah Islam. Ia menyimpulkan pada akhirnya, kalau Ilmu orang Perancis itu ketinggalan jauh, beku dan bikin otak tumpul. Sayangnya, akan sangat banyak cerita-cerita menarik yang tidak tergali ke permukaan, karena seakan ada sebuah usaha untuk menutupi fakta sejarah yang terang ini. Hubungannya dengan budaya meniru, sebenarnya ada pada proses penerjemahan dari Arab ke Latin yang terjadi secara berangsur-angsur dan memakan waktu selama 400 tahun oleh Ilmuwan dari Barat.
Ketertarikan bangsa barat terhadap ilmu yang dikuasai ummat islam pada waktu membuat mereka mau tidak mau berusaha keras mernerjemahkan banyak karya para ilmuwan muslim. Sebut saja, Constantinus Aphricanus yang termaktub sebagai seorang inisiator yang berjasa membawa banyak karya para ulama islam ke Eropa untuk selanjutnya diterjemahkan sendiri ke dalam bahasa latin. Maka kembali ke pertanyaan awal, salahkan meniru?
Tidak ada yang salah dalam proses amati lantas meniru, atau yang lebih dikenal dengan budaya ATM, amati, tiru, modifikasi. Kalau usaha memerdekakan diri dari penjajah disebut sebagai gerakan meniru negara lain yang sudah mereka sebelumnya, apakah itu salah? Mari lihat perbedaan yang jelas dan mendasar selanjutnya.
Ketika proses peniruan itu memiliki unsur akal di dalamnya maka akan menjadi beda hasil dan dampaknya. Sedangkan akal sendiri tidak serta merta diartikan sebagai rasio atau logika belaka. Dr. Ugu Sugiharto menyebukan, bahwa akal bagi manusia seharusnya terdiri dari unsur rasio dan intelektus.2 Jika keduanya memiliki peran seimbang maka akan tercipta sebuah karya yang signifikan pada akhirnya. Sebagaimana para ilmuwan islam dahulu membuktikannya.
Sayangnya, kelakar ini akhirnya harus diusaikan. Kalau ada yang bilang Bangsa Indonesia hanya bisanya meniru dan mengekor, saya hanya bisa berdiri di antaranya. Saya tidak bisa menolak karena fakta yang ada saat ini bisa dikatakan seperti itu. Tapi saya juga bisa mengatakan hal sebaliknya, karena buktinya kita pernah membubuhkan sejarah menjadi negara besar yang disegani di awal berdirinya negara ini. Kita juga pernah mencatatkan diri terbebas dari cengkraman kolonialisme dengan ikhtiar dan ketakwaan yang optimal oleh para Founding Fathers dan Pahlawan Indonesia pada waktu itu. Semua tergantung pada insan di dalamnya pada akhirnya. Apakah ingin menggunakan akalnya atau malah asik dengan kenyamanan. Sungguh malang bahwa akal yang ada pada pribadi ini hanya bisa digunakan lewat proses pembelajaran yang panjang. Entah itu rasionya atau inlegensianya.
Posting Komentar
Posting Komentar