septiayu

Monolog Kehidupan: Refleksi Perjalanan Menyusuri Lautan

monolog kehidupan

Apa kabar Sob? Semoga bahagia selalu menyertaimu ya. Sob, kali ini aku ingin membagikan perenunganku saat perjalanan laut dari Makassar menuju Jakarta. Yups, ceritanya tentang percakapan hati selama perjalanan tiga hari dua malam terombang-ambing di lautan. Cerita tentang monolog kehidupan, sebuah refleksi perjalananku menyusuri lautan luas.

Hari itu, Selasa, 15 Oktober 2024, Kapal Motor (KM) Dobonsolo yang besar dan gagah di tengah lautan yang luas, membawa kami ribuan orang yang menumpang kapal ini, beranjak dari kota Daeng, Makassar menuju pulau terpadat di negeri ini, Jawa. Tak terbayangkan olehku kapal ini bisa menampung hingga 2.500 penumpang dan berbagai macam muatan lainnya, dengan segala fasilitas seperti kamar tidur yang dilengkapi dengan toilet dan lemari pakaian, kafetaria dengan berbagai macam makanan dan minuman, musala yang luas, klinik kesehatan, bahkan tersedia ruang teater untuk menyaksikan pemutaran film.

Namun, hari ini aku tidak akan menceritakan tentang seluk beluk KM Dobonsolo itu Sob, esok lusa akan kuceritakan sendiri pada rangkaian cerita Ekspedisi Sulawesi Selatan. Kali ini, biarlah hati ini yang sedang riuh mencurahkan segala yang terpendam.

Monolog Kehidupan: Pertanyaan dan Jawaban

monolog hidup
Di tengah lautan yang luas dan gemuruh mesin kapal, di atas KM Dobonsolo yang membelah lautan, aku termenung. Angin laut dengan keras menampar wajahku, seakan menghantamku dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam. Di sini, di antara langit dan laut yang seolah tak bertepi, aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri, sebuah monolog tentang hidup, tentang perjalanan yang tidak selalu mulus, tentang mimpi-mimpi yang tertunda, tentang kegagalan yang tak berjeda.

“Kenapa, aku seringkali dibuat lelah dengan semua ini?” tanyaku pada diri sendiri. Kapal terus melaju, tapi pikiranku terjebak di antara kekhawatiran dan harapan. Aku teringat betapa seringnya aku berjuang, betapa seringnya aku bangun dan terjatuh lagi. Tetapi, aku juga teringat, bahwa di balik setiap jatuh, ada dorongan kuat untuk bangkit, untuk terus melangkah, meski tak selalu tahu ke mana kaki ini akan membawaku.

“Apakah semua ini ada artinya?” tanyaku lagi, sembari menatap matahari terbenam yang perlahan menghilang di ujung cakrawala.

Di tengah keraguan itu, sebuah suara kecil dari dalam hati mencicit, “Setiap perjuanganmu, setiap air mata dan tawa, adalah bagian dari cerita yang sedang kau tulis. Kau tidak sendiri, kawan. Setiap manusia di kapal ini, bahkan di seluruh dunia ini, punya cerita dan pertanyaannya masing-masing. Dan mungkin, justru di dalam pertanyaan-pertanyaan itu, kau akan menemukan jawaban-jawaban yang selama ini kau cari.”

Aku masih berdiri di haluan kapal, membiarkan angin yang kencang terus menerus menamparku. Lantas, matahari secara tiba-tiba membenamkan diri ke ujung laut. Senja yang hangat menghambur, langit bersolek dengan berupa-rupa warna merah, kuning, jingga, abu, biru, berbaur menampilkan lukisan alam yang dahsyat, seakan memberikan pelukan hangat. “Kapan terakhir kali aku bersyukur?” tanya hatiku lagi.

Terkadang, dalam kesibukan mengejar mimpi, aku lupa untuk berhenti sejenak dan menghargai langkah-langkah kecil yang sudah kutempuh. Bahwa aku bisa berdiri di atas geladak kapal ini, merasakan kebebasan, menikmati perjalanan panjang ini, adalah sebuah karunia tersendiri. Aku belajar, bahwa ketenangan tidak selalu ditemukan dalam jawaban, tetapi dalam keberanian untuk menerima ketidakpastian dan menikmati setiap momen yang ada.

Dan di sinilah aku, berdiri di antara hamparan lautan yang luas, sambil berbicara dengan diri sendiri. “Tak apa kalau aku belum menemukan semua jawaban hari ini,” kata hatiku yang lain. Karena mungkin, hidup ini memang tentang perjalanan itu sendiri, tentang menemukan kekuatan dalam keraguan, tentang merangkul rasa takut, dan tentang menikmati setiap ombak yang menggoyang arahku. Mungkin, di ujung perjalanan ini, aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kucari. Meski, untuk saat ini, aku akan menikmati perjalanan ini, dan belajar tersenyum di tengah badai kecil yang mungkin datang.

Malam semakin pekat, kapal terus melaju, dan aku tetap di sini, di antara rindu dan harapan, di antara pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum terjawab. Tapi aku percaya, bahwa perjalanan ini akan membawaku ke tempat yang lebih baik. Dan selama masih ada angin yang membawa harapan, aku akan terus melangkah, menuliskan kisahku, dan percaya bahwa setiap detik perjalanan ini adalah anugerah.

Refleksi Perjalanan Menyusuri Lautan

senja dari kapal
Perjalanan kali ini, meski diawali dengan rasa khawatir dan sanksi, tentang keraguan apakah bisa untuk kali pertama menaiki kapal untuk perajalanan yang jauh, terombang-ambing di lautan luas. Namun kemudian, bukan khawatir yang berkuasa, begitu menjejakkan kaki di tangga kapal, kekuatan itu justru muncul. Kekuatan yang membawaku pada sebuah pemahaman hidup, meski bukan suatu pemahaman yang baru, akan tetapi sebuah pemahaman yang akan terpatri kuat, tak menggoyahkan keyakinan.

Satu, dua, tiga, bahkan ribuan kali, ketika diri mencoba hal-hal lain dalam kehidupan. Adakalanya berhasil, seringkali kegagalan yang menyapa. Benar sekali, gagal bukanlah akhir, sebab dari kegagalan kita belajar tentang kehidupan yang sejati, tentang keteguhan, tentang usaha-resiko-rasa sakit-kepuasan- dan yang paling penting, belajar tentang berserah pada kehendak-Nya.

Kita mungkin seringkali menuntut kehidupan yang sempurna, berhasil pada banyak hal, menjadi yang terbaik pada setiap kondisi, tetapi kita lupa, bahwa hidup seperti roda yang berputar. Setiap orang pernah merasakan titik terendah dalam kehidupan, sama halnya dengan merasakan titik puncak dalam pencapaian diri. Yang membedakan satu orang dengan yang lainnya adalah rasa syukur yang tak terukur. Ya, rasa syukur yang menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan hidup, sepahit apa pun ujian yang menghampiri.

Kita mungkin sadar, bahwa kita telah melangkah jauh meninggalkan rasa sakit dan kecewa. Berharap di setiap jalan yang kita tempuh bisa mengobati, menghilangkan segala rasa yang mengaduk-aduk hati. Apakah itu semua mujarab?

Ya, seringkali perjalanan itu menyenangkan dan membuat kita lupa akan rasa sakit yang bersarang di hati. Akan tetapi, lagi-lagi kita lupa satu hal, sakit yang terpatri di hati tidak bisa hilang, jika kita tak memaafkan diri, tak mengobati hati.

Maka, maafkanlah, maafkan orang-orang yang membuat kecewa. Maafkanlah, maafkan diri yang belum bisa meraih satu, dua, tiga hal yang ingin sekali diraih. Maafkanlah, karena hanya dengan berdamai dengan diri, berdamai dengan hal-hal yang menyakitkan, kita bisa melangkah dengan optimisme yang baru.

Berjalan dengan langkah panjang, mensyukuri segala kehidupan yang telah digariskan. Bahkan, jika nanti kembali jatuh, kita akan kembali bangkit. Bukankah begitu hakikat hidup? Mencoba-gagal-coba lagi-gagal lagi- entah berapa kali percobaan, entah berapa kali kegagagal, jiwa-jiwa yang kuat tidak akan menyerah, jiwa yang kuat selalu mencoba, selalu berusaha, tak kan kalah dengan rasa sakit dan kegagalan.

Bisikanlah pada hati, "Wahai Pemilik Kehidupan, aku hanyalah manusia yang kecil. Aku akan dan ingin terus melangkah, maka bimbing aku, peluk aku dengan segala kebaikan-Mu. Beri aku pemahaman yang baik agar melangkah di jalan-Mu, jalan orang-orang yang dipenuhi rasa syukur dan sabar." Begitulah monolog kehidupan, segala percakapan tentang kehidupan antara aku dan hatiku. Bagaimana dengan Kamu, Sob? Kapan biasanya kamu mengajak diri sendiri berbicara mesra?

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI

septi ayu azizah
Septi Ayu Azizah penyuka literasi, volunteer dan pendidikan. Penikmat jalan-jajan ini suka berpindah-pindah tempat tinggal, dan menceritakan perjalanan hidupnya di sini. Aktivitas Septi sebagai guru, volunteer dan pegiat literasi.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar